Mengapa Korupsi Sulit Diberantas
Sebelum
masuk ke pembahasan korupsi berikut adalah pengertian korupsi menurut berbagai
resensi.
-
Korupsi berasal dari bahasa
Latin coruptio dan corruptus yang berarti
kerusakan atau kebobrokan. Dalam bahasa Yunani corruptio perbuatan
yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap,tidak bermoral, menyimpang dari
kesucian, melanggar norma-norma agama, materil, mental, dan umum.
-
Korupsi dalam arti hukum,
adalah tingkah laku yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang
lain, yang dilakukan oleh penjabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum.
-
Korupsi berdasarkan pemahaman
pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Korupsi merupaka
tindakan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri/orang lain (perseorangan
atau sebuah korporasi) , yang secara langusng maupun tidak langsung merugikan
keuangan atau prekonomian negara, yang dari segi materiil perbuatan itu
dipandang sebagai perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
masyarakat.
-
Korupsi= Pencurian +
Penggelapan
Beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya korupsi.
1. Bagi perusahaan memang ada dana yang namanya “success fee”,
“entertaintment fee” atau apalah istilah lain, yang di alokasikan untuk
memuluskan jalannya proyek atau menggolkan proyek perusahaan, bagi perusahaan
bukan lagi masalah besarnya cost, tetapi yang paling penting kepastian bahwa
proyek dapat terlaksana. Sehingga bagi pelaku mikirnya begini, ini bukan uang
rakyat kok, ini dari perusahaan, kita hanya menerima sedikit uang lelah atau
uang terima kasih untuk suksesnya proyek ini.
2.
Prosedur Birokrasi yang tidak jelas, tidak ada penetapan tarif. Contoh: Dalam
pengajuan Ijin Usaha Pertambangan. Biasanya pengajuan lewat Departemen
Pertambangan, kemudian ditanda-tangani oleh Bupati. Akibat tidak adanya tarif
yang jelas, bukan rahasia umum lagi, Kepala Pertambangan dan Bupati bisa
bermain disini, untuk tanda tangan satu IUP bisa mencapai 300 juta rupiah
bahkan lebih, tergantung berapa luas area dan lokasi pertambangan. Ini uang
besar, justru di birokrasi tingkat rendah contoh pembuatan SIM, KTP, penjualan
tiket KA, sudah berjalan lebih baik.
3.
Pelaku berkelompok, biasanya dalam satu departemen atau satu garis kepemimpinan
semua mendapat bagian, sehingga bersikap saling melindungi.
4. Pelaku
makin pintar. Tidak ada lagi sistem transfer, semua cash and carry, seminimal
mungkin penggunaan alat komunikasi, jika terpaksa berkomunikasi, mereka
menggunakan bahasa-bahasa rahasia.
5.Kurangnya
kesadaran moral dan spiritual, pengetahuan moral dan agama hanya sebagai ilmu,
bukan sebagai cinta pada Pencipta. Anehnya ketika sudah tertangkap, rata-rata
menjadi makin santun, dan rajin ibadah.
Menurut Deputi Pemberantasan Pusat
Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) Wizral Yanuar, ada beberapa
hal yang membuat korupsi sulit dihilangkan di Indonesia.
"Pertama, korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan melibatkan aparat," ungkap Wizral dalam diskusi bertema Caleg dan Pencegahan Korupsi di kantor DPP PPP, Jakarta, Rabu (20/3/2013).
Wizral menjelaskan, korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang, akibatnya sulit untuk mencari alat bukti guna mengusut atau menuntaskan kasus korupsi. Selain itu, Locus dilicti (tempat dan lokasi kejadian) dalam kasus korupsi terkadang bersifat lintas negara. Apalagi, alat atau sarana kejahatan semakin canggih.
"Di internet saja ada jasa membuka rekening dengan biaya Rp10 juta. Nanti namanya bisa dipalsukan. Dengan rekening-rekening ini bisa dilakukan pencucian uang. Saat ini Mabes Polri sedang mengusutnya," jelas Wizral.
Selain itu, sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya persepsi dari masyarakat Indonesia dalam memandang korupsi. "Saat ini korupsi, dipandang sebagai kebiasaan," katanya.
Wizral menambahkan, kasus korupsi di Indonesia sangat sulit untuk diungkap juga karena kasus korupsi itu terkadang melibatkan banyak pihak dan berbelit. "Korupsi di Indonesia ibarat gunung es, hanya kelihatan atasnya saja. Apa yang salah di republik ini? Semakin dibongkar korupsi ini semakin banyak," tegas Wizral.
Dikatakan Wizral, korupsi dilakukan, karena adanya empat unsur, antara lain, niat untuk melakukan, kemampuan untuk melakukan, peluang atau kesempatan dan target yang cocok. PPATK, kata Wizral, tidak tinggal diam untuk mengusut kasus korupsi. Salah satu cara membongkar korupsi ialah strategifollow the money atau menelusuri harta kekayaan dari hasil kejahatan korupsi.
"Pertama, korupsi adalah kejahatan yang terorganisir dan melibatkan aparat," ungkap Wizral dalam diskusi bertema Caleg dan Pencegahan Korupsi di kantor DPP PPP, Jakarta, Rabu (20/3/2013).
Wizral menjelaskan, korupsi merupakan rantai kejahatan yang panjang, akibatnya sulit untuk mencari alat bukti guna mengusut atau menuntaskan kasus korupsi. Selain itu, Locus dilicti (tempat dan lokasi kejadian) dalam kasus korupsi terkadang bersifat lintas negara. Apalagi, alat atau sarana kejahatan semakin canggih.
"Di internet saja ada jasa membuka rekening dengan biaya Rp10 juta. Nanti namanya bisa dipalsukan. Dengan rekening-rekening ini bisa dilakukan pencucian uang. Saat ini Mabes Polri sedang mengusutnya," jelas Wizral.
Selain itu, sulitnya memberantas korupsi juga disebabkan adanya persepsi dari masyarakat Indonesia dalam memandang korupsi. "Saat ini korupsi, dipandang sebagai kebiasaan," katanya.
Wizral menambahkan, kasus korupsi di Indonesia sangat sulit untuk diungkap juga karena kasus korupsi itu terkadang melibatkan banyak pihak dan berbelit. "Korupsi di Indonesia ibarat gunung es, hanya kelihatan atasnya saja. Apa yang salah di republik ini? Semakin dibongkar korupsi ini semakin banyak," tegas Wizral.
Dikatakan Wizral, korupsi dilakukan, karena adanya empat unsur, antara lain, niat untuk melakukan, kemampuan untuk melakukan, peluang atau kesempatan dan target yang cocok. PPATK, kata Wizral, tidak tinggal diam untuk mengusut kasus korupsi. Salah satu cara membongkar korupsi ialah strategifollow the money atau menelusuri harta kekayaan dari hasil kejahatan korupsi.
Berikut adalah 10 cara memberantas korupsi.
Pertama, Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi antikorupsi. Proklamasi demikian menjadi pondasi awal bagi seluruh gerakan antikorupsi.
Kedua, untuk menjadi baju
hukum proklamasi antikorupsi, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) Pemberantasan Korupsi. Presiden memang sudah
mengeluarkan Instruksi Presiden Percepatan Pemberantasan Korupsi. Bentuk hukum
Inpres tersebut mengindikasikan bahwa korupsi masih dilihat sebagai kejahatan
biasa. Seharusnya keluarbiasaan tidak memadai diwujudkan hanya dengan baju
hukum Inpres. Hanya baju hukum Perpu yang pas untuk menegaskan korupsi adalah
kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula.
Alasan konstitusional pengeluaran Perpu adalah “kegentingan yang memaksa”. Maka
dengan Perpu Antikorupsi, jelas meluncur pesan negara sudah dalam keadaan
genting, darurat korupsi, dan karenanya upaya extra ordinary tidak mungkin
ditunda untuk segera dilaksanakan. Mengenai “kegentingan yang memaksa” menurut
putusan Mahkamah Konstitusi adalah subyektifitas presiden untuk menentukannya,
yang obyektifitas politiknya dinilai oleh DPR. Maka, mengeluarkan Perpu
Antikorupsi adalah sah sebagai kebijakan presiden.
Ketiga, di dalam perpu dapat
ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan
peradilan. Reformasi birokrasi sudah dilakukan tetapi masih sangat lamban.
Merombak pola pikir koruptif dari birokrasi yang sudah berpuluh tahun menjadi
penggerak korupsi tentu tidak mudah. Namun, upaya pemberantasan korupsi tidka
akan pernah berhasil tanpa melakukan reformasi birokrasi secara lebih
akseleratif. Untuk itu, pembersihan korupsi dari birokrasi tingkat tinggi harus
lebih dulu dilakukan untuk menjadi tauladan bagi birokrasi tingkat bawahnya.
Demikian pula halnya dengan reformasi peradilan. Memberantas korupsi tanpa
memerangi mafia peradilan adalah mimpi di siang bolong. Korupsi hanya bisa
dijerakan dengan penegakan hukum yang efektif. Law enforcement yang efektif
tidak akan terlaksana jika penegak hukum masih terkontaminasi judicial
corruption. Maka reformasi peradilan harus dimaknai untuk menghabisi praktik
nista mafia peradilan.
Keempat,
konsentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud
pemberantasan korupsi secara preventif dan represif. Cara preventif dilakukan
melalui pembenahan birokrasi; sedangkan metode represif memerlukan aparat hukum
yang tidka hanya mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni, namun pula
intergitas moralitas yang terjaga.
Kelima, untuk langkah represif
penegakan hukum, strategi yang harus dilakukan adalah memadukan cara quick wins
dan big fishes. Maksudnya selain mencari bukti-bukti tak terbantahkan (hard
evidence), untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat; pemberantasan
harus fokus kepada koruptor kakap. Korupsi sudah menjamah seluruh ruas
kehidupan. Maka prioritas harus dilakukan, dan korupsi by greed harus menjadi
target prioritas, dibanding korupsi by need.
Keenam, sejalan dengan
pemikiran memberantas korupsi di level kakap, yang melakukan korupsi karena
keserakahan, bukan semata kebutuhan. Maka senjata perang melawan korupsi harus
diarahkan kepada Istana, Cendana, Senjata dan Pengusaha Naga. Istana adalah
ring satu kekuasaan masa kini; Cendana adalah ring satu kekuasaan masa lalu; Senjata
adalah korupsi di lingkaran aparat keamanan dan pertahanan; serta pengusaha
naga adalah korupsi oleh para mega pengusaha.
Ketujuh,
pemberantasan korupsi di empat wilayah untouchable tersebut adalah memerangi
korupsi di episentrum kekuasaannya. Hal tersebut penting karena sel kanker
korupsi harus dipotong pada pusatnya, bukan pada jaringan cabang sel kankernya.
Kedelapan,
pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini, aparat penegak
hukum, akademisi, mahasiswa. Perluasan jaringan tersebut urgen untuk menghadapi
serangan balik (fights back) yang terus semakin gencar.
Kesembilan,
semua langkah pemberantasan korupsi di atas membutuhkan kepemimpinan yang kuat
(strong leadership). Tidak mungkin Istana, Cendana, Senjata dan pengusaha Naga
dapat disentuh, tidak bisa episentrum korupsi di amputasi, tanpa tongkat
komando diubah menjadi pisau bedah antikorupsi oleh pemimpin bangsa ini
sendiri.
Kesepuluh,
akhirnya, semua langkah tersebut harus diiringi dengan menumbuhkembangkan
budaya zero tollerance to corruption.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar